BANDA ACEH | CEO Aceh – Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem memimpin rapat strategis kelas tinggi pada Jumat malam (13/6/2025), membahas status krusial empat pulau yang kini diklaim sepihak oleh Sumatera Utara. Pertemuan berlangsung intens di Banda Aceh bersama FORBES DPR/DPD RI asal Aceh, DPRA, para ketua partai politik, Plt Sekda Aceh, pimpinan SKPA, akademisi, hingga ulama.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Kecil, dan Mangkir Besar — wilayah laut yang secara historis, hukum, dan teknis berada dalam yurisdiksi Aceh, tepatnya Kabupaten Aceh Singkil.
“Pemerintah Aceh menolak keras penetapan sepihak Kemendagri. Empat pulau ini sah milik Aceh!” tegas Mualem di hadapan forum elite Aceh.
Klaim Aceh tidak kosong. Pemerintah Aceh memaparkan fondasi hukum yang solid. Dari UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), hingga hasil pemetaan 2016 dan 2018 bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, semuanya menunjuk satu arah: empat pulau itu Aceh punya.
Bahkan, surat dari Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1953 secara eksplisit mengakui bahwa Pulau Panjang dan Pulau Lipan merupakan bagian dari Aceh. Dokumen administratif seperti SK Gubernur Aceh No. 050/933/2016 pun mengunci posisi pulau-pulau ini dalam sistem pemerintahan Aceh.
Secara pelayanan publik, empat pulau tersebut selama ini diurus dan dikelola oleh Pemkab Aceh Singkil. Dari pendidikan, kesehatan, hingga pengawasan perikanan—semuanya mengalir dari Aceh, bukan dari Tapanuli Tengah.
Kepmendagri No. 050-145/2022 dan No. 100.1.1-6117/2022 menjadi pangkal polemik. Tanpa klarifikasi dan validasi bersama, empat pulau “dipindahkan” ke Sumut. Bagi Aceh, ini bukan sekadar kesalahan administratif. Ini adalah pelanggaran terhadap batas wilayah sah yang telah diakui puluhan tahun.
Mualem dan seluruh elemen Aceh menyuarakan satu suara: cabut dan tinjau ulang Kepmendagri!
“Validasi ulang batas Aceh–Sumut harus dilakukan terbuka, berbasis data historis dan teknis yang objektif,” ujar Mualem lantang.
Dalam kesempatan yang sama, Mualem juga menyentuh ranah fundamental lainnya: revisi UUPA. Ia mewanti-wanti agar revisi UUPA tidak menyimpang dari semangat MoU Helsinki 2005, yang menjadi pondasi perdamaian dan otonomi Aceh.
“Aceh punya kekhususan yang tidak bisa ditawar. UUPA bukan sekadar UU biasa. Ia adalah wujud dari janji damai nasional dan internasional,” tegasnya.
Mualem meminta FORBES DPR/DPD RI asal Aceh agar solid, satu suara, dan tidak main dua kaki dalam proses revisi. Aceh butuh wakil yang loyal terhadap sejarah dan komitmen politiknya.
Rapat tersebut menghasilkan satu kesepakatan besar: Aceh bersatu. Dari politisi, akademisi, hingga tokoh agama, semua berdiri teguh mendukung langkah hukum dan politik mempertahankan keutuhan wilayah Aceh dan kekhususannya di bawah UUPA.