
Implementasi Praktik Psikologi ABK : Kunjungan Mahasiswa Psikologi UIN Ar-Raniry ke
TNCC Banda Aceh
Banda Aceh, newsceoaceh.com.
Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Program Studi Psikologi,
melaksanakan observasi dan pengajaran langsung ke SLB TNCC, Banda Aceh, 20/11Kegiatan ini
merupakan bagian dari praktik kuliah lapangan pada mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK). Kegiatan tersebut di pandu oleh Bapak Harri Santoso, S.Psi., M.Ed., selaku dosen
pengampu mata kuliah, sekaligus penghubung antara kampus dan pihak sekolah. Kunjungan ini
diharapkan dapat memberikan pengalaman nyata bagi mahasiswa dalam mempraktikkan teori
yang sudah diperlajari di kampus.
Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih menjadi perhatian penting di
Indonesia, termasuk Aceh. Meski kebijakan nasional menegaskan bahwa setiap anak berhak
mendapat layanan pendidikan yang sesuai kebutuhannya, keterbatasan guru khusus, fasilitas, dan
pemahaman masyarakat masih menjadi tantangan. SLB TNCC hadir sebagai lembaga yang
memberikan layanan pembelajaran terarah dan individual bagi anak-anak dengan hambatan
perkembangan. Karena itu, keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan observasi dan pengajaran
sangat berarti untuk mendukung penguatan pendidikan ABK di Aceh.
Dalam mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, mahasiswa tidak hanya mempelajari
teori mengenai karakteristik, kebutuhan, dan pendekatan intervensi, tetapi juga diharapkan dapat
memahami dan mempraktikan langsung secara nyata. Oleh karena itu, dosen pengampu
memfasilitasi mahasiswa untuk dapat melakukan observasi dan pengajaran langsung kepada anakanak yang berkebutuhan.
Setibanya di SLB TNCC Banda Aceh, rombongan mahasiswa disambut oleh pihak sekolah yang
menjelaskan profil lembaga, jumlah siswa, jenis kebutuhan khusus yang ditangani, serta gambaran
umum proses pembelajaran yang berlangsung setiap hari. Untuk mengoptimalkan proses observasi
dan pengajaran mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan ditempatkan di setiap kelas
yang ada di SLB TNCC Banda Aceh.
Penulis sendiri mendapatkan kesempatan untuk melakukan observasi dan pengajaran di kelas 2,
yang terdiri dari anak-anak autism dan tunagrahita. Pengalaman berinteraksi dan mengajar di kelas
tersebut memberikan gambaran nyata mengenai tantangan sekaligus keunikan dalam proses
belajar-mengajar bagi ABK. Interaksi dengan anak-anak kelas 2 menjadi pengalaman yang
memperkaya pemahaman teoritis yang sebelumnya hanya dipelajari lewat literatur dan penjelasan
dalam kelas perkuliahan.
Anak dengan autisme memperlihatkan pola komunikasi yang terbatas, kebutuhan akan rutinitas,
serta sensitivitas terhadap suara atau sentuhan. Sementara itu, anak dengan tunagrahita
menunjukkan kebutuhan akan instruksi sederhana, pengulangan, serta bantuan dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik dasar. Kondisi inilah yang menuntut mahasiswa untuk
menerapkan pendekatan pembelajaran yang lebih sabar, bertahap, dan adaptif.
Untuk memahami kondisi sekolah secara lebih mendalam, mahasiswa juga melakukan wawancara
dengan guru kelas sebagai bagian dari kegiatan observasi. Penulis berkesempatan berbincang
Marhamah, seorang guru di SLB TNCC yang telah mengabdi hampir empat tahun. Meski
berlatar belakang pendidikan FKIP Kimia, Marhamah menyatakan bahwa mengajar di SLB TNCC
merupakan tantangan luar biasa yang menghadirkan pengalaman yang sepenuhnya berbeda dari
lingkungan sekolah reguler. “Karena basic mengajar biasanya anak-anak SMA biasa, saat
mengajar di SLB tentunya membutuhkan penyesuaian dan membutuhkan waktu dalam
penyesuaian diri,” ujarnya. “Saya harus belajar ulang bagaimana memahami perilaku mereka,
bagaimana merespons, serta gaya belajar yang efektif untuk diberikan kepada si anak”.
Tantangan yang ia hadapi bukan hanya terkait metode mengajar, tetapi juga bagaimana memahami
karakteristik setiap anak yang memiliki kebutuhan unik dan ritme perkembangan yang beragam.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, seiring waktu ia mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekolah dan memahami ritme pembelajaran anak berkebutuhan khusus.
Ia juga menjelaskan bahwa selain pembelajaran akademik, anak-anak juga diajak membuat
berbagai kerajinan dari bahan daur ulang seperti ecobrick, memasak, serta bekerja dalam
kelompok kecil untuk melatih kerja sama dan kemandirian. Program-program kreatif ini dirancang
untuk membantu anak mengembangkan kemampuan motorik, sosial, dan kognitif melalui kegiatan
yang menyenangkan. Marhamah menuturkan bahwa aktivitas tersebut telah disesuaikan dengan
kurikulum sekolah. “Setiap semester biasanya ada program kreativitas. Tahun ini, misalnya, anakanak membuat ecobrick. Jadi sambil menunggu waktu, mereka kami arahkan untuk membuat
kerajinan,” ujarnya.
Bagi mahasiswa, pengalaman langsung ini menjadi refleksi penting mengenai betapa luasnya
dunia anak berkebutuhan khusus. Banyak dari mahasiswa yang awalnya hanya memahami kondisi
ABK melalui buku, hasil penelitian, atau penjelasan teoritis, kini bisa melihat secara nyata
bagaimana karakteristik tersebut muncul dalam perilaku sehari-hari. Penulis merasakan bahwa
proses mengajar di kelas 2 memberikan banyak pembelajaran emosional dan profesional.
Tantangan seperti anak yang tiba-tiba kehilangan fokus, kesulitan mengikuti instruksi, hingga
perilaku spontan yang tidak terduga, mengajarkan pentingnya kesabaran, fleksibilitas, dan
kreativitas dalam memberikan pembelajaran.
Dalam refleksi pribadi, penulis menyadari bahwa kegiatan ini memberikan pemahaman yang jauh
lebih luas tentang peran pendidik bagi anak berkebutuhan khusus. Mengajar di kelas ABK bukan
hanya tentang menyampaikan materi, tetapi tentang membangun relasi, memahami emosi anak,
dan menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka untuk berkembang. Pengalaman tersebut
membuat penulis lebih menghargai dedikasi guru yang setiap hari menghadapi kondisi yang
kompleks, namun tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya. Kegiatan ini juga
memperkuat motivasi penulis untuk terus mendalami bidang psikologi perkembangan, khususnya
yang berkaitan dengan kebutuhan khusus, serta menumbuhkan kesadaran bahwa setiap perubahan
kecil yang ditunjukkan anak adalah hasil dari proses panjang yang patut diapresiasi.
Kunjungan ini menjadi jembatan antara teori dan praktik, sekaligus menjadi sarana bagi
mahasiswa untuk mengasah empati, analisis, dan keterampilan interaksi dengan anak
berkebutuhan khusus. Pendampingan dosen selama kegiatan juga memberikan dukungan
akademik yang penting, membantu mahasiswa menganalisis perilaku anak dengan perspektif
psikologi perkembangan yang tepat. Kegiatan ini diharapkan dapat membentuk kompetensi dasar
bagi mahasiswa Psikologi dalam memahami dunia pendidikan inklusif dan menumbuhkan
kepedulian profesional terhadap pemenuhan hak-hak anak berkebutuhan khusus.
Secara keseluruhan, kunjungan ke SLB TNCC Banda Aceh memberikan pengalaman yang tidak
hanya memperkaya pengetahuan mahasiswa, tetapi juga membangun kesadaran bahwa pendidikan
anak berkebutuhan khusus memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Guru, mahasiswa, lembaga
pendidikan, dan masyarakat memiliki peran bersama dalam menciptakan lingkungan belajar yang
ramah, aman, dan mendukung perkembangan anak. Melalui pengalaman ini, mahasiswa
diharapkan dapat terinspirasi untuk terus mendalami bidang psikologi perkembangan dan
berkontribusi dalam penguatan pendidikan inklusif di Aceh maupun Indonesia.








