BANDA ACEH, NEWSCEOACEH.COM— Di tengah besarnya aliran Dana Otonomi Khusus (Otsus) ke Aceh, persoalan ekonomi rakyat tak kunjung usai. Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam (Lepadsi) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tajuk kritis: “Paradoks Ekonomi Aceh: Dana Besar, Kemiskinan Tinggi – Diagnosis dan Solusi”, Senin (23/6) di Landmark BSI Regional Aceh.
Ketua Umum Lepadsi, Azwar Abubakar, menyebut kondisi Aceh hari ini sebagai bentuk nyata paradoks pembangunan. Meski diguyur anggaran besar selama hampir dua dekade, kemiskinan tetap bertahan. Azwar menggambarkan Aceh sebagai “pasien kronis” yang butuh diagnosa mendalam, bukan sekadar wacana politik.
“Ini bukan sekadar soal anggaran, tapi tentang bagaimana dana itu digunakan. Paradoks ini harus diselesaikan dengan pendekatan ilmiah dan intervensi kebijakan yang tepat,” tegas Azwar.
Azwar juga menyorot lemahnya pengelolaan sumber daya, ketergantungan pada pemerintah pusat, dan rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja lokal sebagai pemicu stagnasi ekonomi. Ia mengusulkan solusi realistis: ekspor tenaga kerja terstruktur dengan pendampingan ketat sebagai jalan keluar jangka pendek.
Lepadsi menilai banyak program infrastruktur belum menyentuh kebutuhan rakyat secara langsung. Efektivitas belanja publik menjadi sorotan utama.
“Transparansi dan akuntabilitas bukan slogan, tapi keharusan. Banyak proyek besar dibangun, tapi dampaknya ke rakyat belum terasa,” ujar Azwar menambahkan.
Menanggapi kritik dan saran tersebut, CEO BSI Regional Aceh, Imsak Ramadhan, menegaskan komitmen pihaknya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi syariah yang berdampak langsung pada masyarakat.
“Pertumbuhan ekonomi syariah bukan semata soal angka, tapi tentang akidah, akhlak, dan kesalehan sosial,” ujarnya.
BSI mencatat total aset Rp401 triliun hingga pertengahan 2025 dan tetap memegang posisi sebagai bank syariah terbesar di Indonesia. Imsak menegaskan bahwa BSI siap menjalin sinergi dengan berbagai pihak, termasuk Lepadsi, untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan mengentaskan kemiskinan di Aceh.
“Diskusi seperti ini harus menghasilkan langkah nyata, bukan hanya wacana. Kita butuh solusi konkret untuk masa depan Aceh yang lebih adil dan mandiri,” pungkasnya.